FOLKLOR SOLO
“Ki Ageng Ngenis”
Ki Ageng Ngenis Di Laweyan Solo
Kiai Ageng Ngenis dan Cikal Bakal
Mataram Islam LAWEYAN oleh masyarakat Solo dikenal sebagai wilayah orang
kaya. Para juragan batik yang menghuni distrik itu merupakan orang-orang kaya
yang hidupnya berlebihan. Konon, dahulu para penguasa istana selalu menghindari
jalan sepanjang Laweyan saat berkeliling Kota Surakarta.
Istilah
Jawa untuk keadaan berlebihan itu adalah leluwihan. Selanjutnya, kata
itu mengalami proses metatesis bahasa menjadi ''lawiyan'' dan itu menjadi satu
faktor kunci dalam membicarakan asal usul wilayah tersebut.
Ada
juga versi lain mengenai nama Laweyan. Versi itu menghubung-hubungkan Laweyan
dengan tempat hukuman gantung memakai seutas tali pada zaman kerajaan. Tali
yang dianggap paling bagus untuk menggantung narapidana adalah tali lawe
(benang bahan tenun). Nama tali itulah yang selanjutnya dipakai sebagai nama
daerah.
Berbicara
Laweyan tak bisa dilepaskan dari sosok Kiai Ageng Ngenis. Dua situs bersejarah
yang dipercaya memiliki kaitan erat dengan kehidupan figur itu masih ada.
Yakni
pemakaman keluarga Kiai Ageng Ngenis dan Masjid Laweyan (di Kampung Belukan,
Pajang, Solo). Dia juga dijuluki Kiai Ageng Laweyan atas jasanya mengabdi pada
Kerajaan Pajang sebagai komandan prajurit di daerah itu.
Juru
Kunci Makam Bu Sastrosarjono atau Nyai Lurah Hamongsarana mengungkapkan, pada
kompleks pemakaman itu jasad Kiai Ageng Ngenis disemayamkan di barat dan diapit
dua kakak perempuannya, Nyai Ageng Pandanaran serta Nyai Ageng Pathi, di
timurnya itu makam Sinuhun Kumbul (Pakubuwono II), ketika ditanya makam
raja-raja Mataram berada di Imogiri, dia mengemukakan, yang ditanam di situ
adalah kerangka Pakubuwono II. ''Hanya tanahnya saja yang dibawa ke Imogiri.''
Selain
makam, situs yang hingga kini masih ada adalah Masjid Laweyan. Usianya sudah
256 tahun. Tapi ada versi lain yang menyebut usia masjid lebih tua dari itu. Ki
Ageng Ngenis disebut-sebut sebagai pendirinya.
Pada
versi itu dikemukakan, sebelum kedatangan Ki Ageng Ngenis, tetua di wilayah itu
bernama Ki Beluk yang beragama Hindu Jawa (namanya diabadikan sebagai nama
kampung Belukan).
Sekitar
1540, Kiai Ageng Ngenis mulai menetap di situ dan berinteraksi dengan Ki Beluk.
Pada saat itu pula, ungkap versi itu, Kiai Ageng Ngenis yang beragama Islam
mendirikan bangunan untuk beribadah. Walaupun berbeda agama, pergaulan dua
orang itu baik. Begitu melihat perilaku luhur Kiai Ageng Ngenis, Ki Beluk
beserta muridnya lalu memeluk agama Islam pula.
Trah
Majapahit
Pada
silsilah yang dibuat Keraton Surakarta, Kiai Ageng Ngenis adalah penurun
dinasti Mataram Islam. Dia ayah Kiai Ageng Pamanahan atau kakek pendiri Mataram
Penembahan Senapati.
Lebih
dari itu bila dihubung-hubungkan, raja-raja Mataram Islam berasal dari trah
Majapahit. Nyai Lurah Hamongsarana menyodori skema silsilah yang berhubungan
dengan Kiai Ageng Ngenis.
Garis
keturunan dari trah Majapahit itu bermula dari Prabu Brawijaya yang menurunkan
Bondan Kejawan atau Lembu Peteng. Bondan Kejawan mengawini Nawangsih, putri
pasangan Jaka Tarub dan Nawangwulan.
Dari
perkawinan itu lahir Ki Getas Pendawa (Purwodadi) yang selanjutnya menurunkan
Ki Ageng Sela. Dan, Kiai Ageng Ngenis satu-satunya putra (bungsu dari sembilan
bersaudara yang semua perempuan) Ki Ageng Sela.
Dari
silsilah itu memang ada sebuah kejanggalan. Yakni pasangan Jaka Tarub dan
Nawangwulan. Sebab galib dipercaya orang, keduanya tokoh mitologis atau tokoh
cerita rakyat yang fiktif.
Tapi,
silsilah yang dibuat Keraton Surakarta itu bukan tanpa acuan. Disebutkan dalam
skema silsilah itu daftar acuan dari banyak literatur. Tak main-main memang,
sebab literatur diambil dari karya para sejawaran besar yang sudah tidak
diragukan lagi ilmu sejarah. Fiktif atau tidak sosok Jaka Tarub-Nawangwulan, wallahu
a'lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar